Menikahi Saudara Sepupu
Assalammu‘alaikum.
Alhamdulillah, was shalatu was salamu ‘ala rasulillah..
Alhamdulillah, was shalatu was salamu ‘ala rasulillah..
Contoh kasus:
- Afif dan Luthfi adalah kakak beradik (saudara kandung), keduanya memiliki anak, Fahmi dan Milah. Maka Fahmi dan Milah adalah saudara sepupu sekakek dan senenek.
- Ahmad dan Fatimah adalah kakak beradik seayah( saudara seayah), masing- masing memiliki anak yang bernama Aisyah dan Ibrahim. Makan Aisyah dan Ibrahim adalah saudara sepupu sekakek.
- Aminah dan Zainab adalah kakak beradik seibu (saudara seibu), masing-masing memiliki anak, Muhammad dan Khadijah. Maka Muhammad dan Khadijah adalah saudara sepupu senenek.
Jadi, secara ringkas pengertian saudara
sepupu adalah saudara senenek dan sekakek, atau saudara hanya sekakek
dan atau hanya senenek.
Konsekuensi dari persaudaraan sepupu
Dari ketiga macam saudara sepupu diatas, semua dalam posisi bukan mahram atau tidak haram.
Mahram yang berarti haram untuk dinikahi. Maka jika disebut bukan mahram artinya boleh dinikahi.
Dalam posisi bukan mahram, maka saudara sepupu sama seperti orang lain (ajnabi).
Jadi batas-batas interaksi antara laki dan wanita juga harus dijaga
sebagai mana kita menjaga batasan terhadap lawan jenis yang lain (non
saudara sepupu).
Sesungguhnya Allah mengharamkan kita untuk menikahi wanita yang
memiliki hubungan mahram dengan kita. Hal ini Allah tegaskan dalam
firman-Nya di surat an-Nisa, ayat 23. Pada ayat tersebut Allah
menyebutkan beberapa wanita yang tidak boleh dinikahi oleh lelaki,
karena status mereka sebagai mahram.
Terkait masalah ini, saudara sepupu bukanlah mahram. Karena Allah
menghalalkan untuk menikahi saudara sepupu. Sebagaimana yang Allah
tegaskan dalam firman-Nya,
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu
isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya
yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan
yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan
dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan
anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu.” (QS. Al-Ahzab: 50)
Ayat ini secara tegas menujukkan bolehnya menikahi saudara sepupu. Syaikh abdurrahman as-Sa’di mengatakan:
Allah berfirman sebagai bentuk kemurahan kepada Rasul-Nya, bahwa Allah menghalalkan bagi Rasul-Nya sesuatu yang Allah halalkan bagi orang beriman lainnya (yaitu menikahi sepupu), dimana Allah menyatakan, yang artinya:
“(halal untuk menikahi) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu.” ayat ini mencakup semua paman dan bibi dari bapak maupun ibu, yang dekat maupun yang jauh. (Taisir Karimir Rahman, hal. 669)
Allah berfirman sebagai bentuk kemurahan kepada Rasul-Nya, bahwa Allah menghalalkan bagi Rasul-Nya sesuatu yang Allah halalkan bagi orang beriman lainnya (yaitu menikahi sepupu), dimana Allah menyatakan, yang artinya:
“(halal untuk menikahi) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu.” ayat ini mencakup semua paman dan bibi dari bapak maupun ibu, yang dekat maupun yang jauh. (Taisir Karimir Rahman, hal. 669)
Antara Keyakinan Yahudi dan Nasrani
Satu hal yang sangat mengherankan, banyak kaum muslimin yang melarang
anaknya untuk menikah dengan saudara sepupu, dengan alasan bahwa itu
terlarang secara agama. Ini adalah alasan yang tidak benar, karena agama
menghalalkan untuk menikahi saudara sepupu.
Di sisi lain, umat sebelum kita, yahudi dan nasrani memiliki
keyakinan yang menyimpang dalam masalah pernikahan. Disebutkan oleh
al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya:
Orang Nasrani meyakini bahwa antar-keluarga tidak boleh ada hubungan
pernikahan, kecuali jika sudah melewati keturunan ketujuh atau lebih.
Sedangkan orang yahudi membolehkan seorang lelaki menikahi keponakannya.
Sementara syariat islam datang dengan membawa ajaran pertengahan. Tidak
berlebih-lebihan, seperti orang nasrani yang melarang pernikahan di
antara keluarga dan sebaliknya tidak terlalu lancang seperti orang
yahudi, yang membolehkan seseorang menikahi keponakannya. (Lihat Tafsir al-Qur’anul Adzim, 6/442)
Rasulullah Tidak Mau Menikahi anak perempuannya Hamzah
Dalam sebuah kesepatan, Rasulullah SAW ditawari
untuk menikahi sepupuya, salah seorang purti Hamzah bin Abdil Muthollib.
Ketika itu beliau menolak untuk menikahinnya dengan alasan Hamzah
adalah saudara sesusuannya. Dalam sebuah hadits disebutkan:
Pada sebuah kesempatan rasulullah ditawari untuk menikahi anan perempaunnya Hamzah, maka beliau bersabda: “sesungguhnya
dia (anak perempuan Hamzah) tidak halal untuk aku nikahi, karena dia
anak saudara sesusuan-ku. Dan apa yang diharamkan dari sebab persusuan
sama seperti yang diharamkan karena sebab nasab.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi alasan beliau menolak untuk menikahi putri
Hamzah bukan karena alasan sepupu, tetapi karena alasan anak dari
saudara sesusuan. Karena dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Hamzah
dan Rasulullah keduanya pernah disusui oleh Tsuwaibah, salah seorang
budak Abu Lahab.
Jadi tidak menuntut kemungkinan seseorang
memiliki dua atau lebih penyebutan posisi dalam keluarga. Hamzah adalah
paman beliau, karena dia saudara Abdullah, bapaknya. Tapi di sisi yang
lain dia juga saudara sesusuan Rasulullah.
Anak dari saudara sepupu juga boleh dinikah (bukan mahram)
Jika diatas kita sebutkan bukan mahramnya saudara
sepupu, maka anak keturunannya pun bukan mahram. Maka boleh menikah. Hal
ini pernah juga di contohkan oleh keluarga Rasulullah dalam pernikahan
Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad Rasulullah.
Rasulullah dan Ali adalah saudara sepupu.
Keduanya bertemu pada satu kakek, Abdul Muthallib. Jika salah satu dari
keduanya adalah wanita, maka keduanya bukan mahram dan boleh menikah.
Maka putri Rasulullah SAW bukan mahram bagi Ali. Oleh sebab itulah
Rasulullah menikahkan putrinya, Fatimah dengan Ali.
Beberapa kekeliruan dalam masyarakat
Masyarakat indonesia memang terkenal dengan masyarakat yang cinta kekerabatan. Jadi tidak heran ketika disebut kalimat masih saudara atau masih kerabat semuanya
di ‘pukul rata’ dan diposisikan sama seperti saudara kandung dan
saudara mahram. Tidak pandang jauh dekatnya tali kerabat, atau pun
mahram dan tidaknya kekerabatan tersebut, yang penting masih saudara.
Jika penyebutan masih saudara tanpa
klarifikasi lebih lanjut, maka yang timbul jusrtu kerancuan. Kerancuan
dalam hal batasan interaksi. Sebagai contoh, seorang ayah mengizinkan
anak gadisnya berkhalwat (berdua-duan) dengan seorang pria dengan alasan
masih saudara. Padahal keduanya bukan mahram.
Atau seorang gadis yang mau mebuka hijabnya dan terlihat auratnya didepan laki-laki dengan alasan masih saudara. Atau dalam kasus yang lain, di beberapa daerah
ada sebagian masyarakatya yang enggan menikahkan anaknya dengan saudara
sepupunya. Alasanya karena masih saudara. Jadi mereka beranggapan bahwa
posisi saudara sepupu sama seperti saudara kandung.
Semoga dengan mengetahui pihak-pihak yang masuk
dalam katagori mahram dan bukan mahram, kita bisa menghindari
kerancuan-kerancuan tersebut. Terlebih lagi kerancuan yang sampai
melanggar batasan syariat.
Wallahu a’lam...
0 comments:
Post a Comment