Terlambat SAHUR..??
Penjelasannya
Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika adzan shubuh.
Hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
"Jika
salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok
terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok
tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai."
Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa
itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala
membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi
setelah itu. Lantas bagaimanakah jalan memahami hadits yang telah
disebutkan di atas?
Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.
Berhenti Makan Ketika Adzan Shubuh
Para
ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar
shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh), maka ia wajib imsak (menahan
diri dari makan dan minum serta dari setiap pembatal). Jika dalam
mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya.
Jika tidak, maka batallah puasanya.
Adapun jika seseorang tidak
yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh makan sampai ia
yakin fajar shodiq itu muncul. Begitu pula ia masih boleh makan jika
ia merasa bahwa muadzin biasa mengumandangkan sebelum waktunya. Atau
ia juga masih boleh makan jika ia ragu adzan dikumandangkan tepat
waktu atau sebelum waktunya. Kondisi semacam ini masih dibolehkan
makan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu
shalat shubuh. Namun lebih baik, ia menahan diri dari makan jika hanya
sekedar mendengar kumandang adzan. Demikian keterangan dari ulama
Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah.
Pemahaman Hadits
Adapun pemahaman hadits Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini.
Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah.
Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,
“Kami
katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut,
maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah
ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
Dalil dalam masalah ini adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sungguh Bilal mengumandangkan adzan di malam hari. Tetaplah kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam kitab Shahih terdapat beberapa hadits lainnya yang semakna)
Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika
salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana
(sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga
ia menunaikan hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,
وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر
“Sampai muadzin mengumandangkan adzan ketika terbit fajar.”
Al Hakim Abu ‘Abdillah meriwayatkan riwayat yang pertama. Al Hakim
katakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim. Kedua
riwayat tadi dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi. Kemudian Al Baihaqi
katakan, “Jika hadits tersebut shahih, maka mayoritas ulama memahaminya
bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah adzan
sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu masih boleh
minum karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk shubuh.
Sedangkan maksud hadits “ketika terbit fajar” bisa dipahami bahwa
hadits tersebut bukan perkataan Abu Hurairah, atau bisa jadi pula yang
dimaksudkan adalah adzan kedua. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan
bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian”, yang dimaksud adalah ketika
mendengar adzan pertama. Dari sini jadilah ada kecocokan antara
hadits Ibnu ‘Umar dan hadits ‘Aisyah.” Dari sini, sinkronlah antara
hadits-hadits yang ada. Wabiilahit taufiq, wallahu a’lam.”
Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika
salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana
(sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia
menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan
dan minum ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul
Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah
terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan
mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.”
Catatan:
Adzan saat shubuh di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dua
kali. Adzan pertama untuk membangunkan shalat malam. Adzan pertama
ini dikumandangkan sebelum waktu Shubuh. Adzan kedua sebagai tanda
terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Shubuh.
Pendukung dari Atsar Sahabat
Ada beberapa riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.
ومن طريق الحسن: أن عمر بن الخطاب كان يقول: إذا شك الرجلان في الفجر فليأكلا حتى يستيقنا
Dari
jalur Al Hasan, ‘Umar bin Al Khottob mengatakan, “Jika dua orang
ragu-ragu mengenai masuknya waktu shubuh, maka makanlah hingga kalian
yakin waktu shubuh telah masuk.”
ومن طريق ابن جريج عن عطاء بن أبى رباح عن ابن عباس قال: أحل الله الشراب ما شككت، يعنى في الفجر
Dari
jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atho’ bin Abi Robbah, dari Ibnu ‘Abbas, ia
berkata, “Allah masih membolehkan untuk minum pada waktu fajar yang
engkau masih ragu-ragu.”
وعن، وكيع عن
عمارة بن زاذان عن مكحول الازدي قال: رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم وقال
لرجلين: أطلع الفجر؟ قال أحدهما: قد طلع، وقال الآخر: لا، فشرب ابن عمر
Dari
Waki’, dari ‘Amaroh bin Zadzan, dari Makhul Al Azdi, ia berkata, “Aku
melihat Ibnu ‘Umar mengambil satu timba berisi air zam-zam, lalu
beliau bertanya pada dua orang, “Apakah sudah terbit fajar shubuh?”
Salah satunya menjawab, “Sudah terbit”. Yang lainnya menjawab, “Belum.”
(Karena terbit fajarnya masih diragukan), akhirnya beliau tetap
meminum air zam-zam tersebut.”[5]
Setelah Ibnu Hazm (Abu
Muhammad) mengomentari hadits Abu Hurairah yang kita ingin pahami di
awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah
ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan,
هذا كله على أنه لم يكن يتبين لهم الفجر بعد، فبهذا تنفق السنن مع القرآن
“Riwayat
yang ada menjelaskan bahwa (masih bolehnya makan dan minum) bagi
orang yang belum yakin akan masuknya waktu Shubuh. Dari sini tidaklah
ada pertentangan antara hadits yang ada dengan ayat Al Qur’an (yang
hanya membolehkan makan sampai waktu Shubuh, pen).”
Sikap Lebih Hati-Hati
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang mendengar adzan Shubuh lantas ia masih terus makan dan minum?”
Jawab
beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala
pembatal puasa yaitu makan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah
masuk waktu shubuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa
Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarot. Hal
ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
(QS. Al Baqarah: 187). Jika mendengar adzan shubuh dan ia yakin bahwa
muadzin mengumandangkannya tepat waktu ketika terbit fajar, maka
wajib baginya menahan diri dari makan. Namun jika muadzin
mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya
menahan diri dari makan, ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai
ia yakin telah terbit fajar shubuh. Sedangkan jika ia tidak yakin
apakah muadzin mengumandangkan adzan sebelum ataukah sesudah terbit
fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum jika ia mendengar adzar.
Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika
adzan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia
tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.
Sebagaimana sudah
diketahui bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah
mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat
langsung terbitnya fajar shubuh. Ketika itu dalam rangka
kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal shalat yang ada
sebagai tanda masuknya waktu shubuh. Hal ini karena mengamalkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.”
Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengatakan, “Tidak
diragukan lagi bahwa kebanyakan muadzin saat ini berpegang pada
jadwal-jadwal shalat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara
langsung. Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai
terbit fajar yang yakin. Jika makan saat dikumandangkan adzan semacam
itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun lebih hati-hatinya sudah berhenti makan ketika itu.”
Demikian
sajian singkat dari kami untuk meluruskan makna hadits di atas.
Tulisan ini sebagai koreksi bagi diri kami pribadi yang telah salah
paham mengenai maksud hadits tersebut. Semoga Allah memaafkan atas
kelalaian dan kebodohan kami.
Semoga Allah senantiasa menambahkan pada kita sekalian ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Disusun di Panggang-Gunung Kidul, 20 Ramadhan 1431 H (30/08/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
(rumaysho.com)
[1] HR. Abu Daud no. 2350. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih.
[2] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202 pada link http://islamqa.com/ar/ref/66202 .
[3] Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 6/312.
[4] Hasyiyah Ibnil Qoyyim ‘ala Sunan Abi Daud, Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 6/341.
[5] Lihat Al Muhalla, Abu Muhammad Ibnu Hazm, Mawqi’ Ya’sub, 6/234.
[6] Al Muhalla, 6/232.
[7] Fatawa Ramadhan, dikumpulkan oleh ‘Abdul Maqshud, hal. 201, dinukil dari Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202.
[8] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202
0 comments:
Post a Comment